Jumat, 11 Mei 2012

TEOLOGI KEADILAN


THE ISLAMIC CONCEPTION OF JASTICE
 ( TEOLOGI KEADILAN PERSPEKTIF ISLAM )
Resume Buku Karya Majid Khaduri
Makalah Pada Mata Kuliah:
METODE STUDI ISLAM
 





Disusun Oleh:
Nama              : AZIZ MUSLIM
NIM                : M1.11.003


Dosen Pengampu:
Dosen  : Dr. Zakiyudin Baidhawi




PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA STAIN SALATIGA
TAHUN 2011

A.    Pendahuluan
Karya tulis tentang teologi keadilan prespektif Islam(The Islamic conception of Justice) ini secara intelektual adalah organik. Tidak seperti karya-karya tulis lain mengenai Islam yang demikian banyak muncul belakangan, buku ini tidak lahir karena Fundamentalisme Islam atau munculnya revolosi Iran. Dalam pengertian bahwa karya ini telah dipersiapkan  sejak 30 tahun yang lalu(1955), ketika Prof. Majid khaduri menerbitkan karya bukunya War and Peace in The Law of Islam (Perang dan Damai dalam Hukum Islam). Di sepanjang dekade ini, munculnya para cendekiawan internasional telah telah menyaksikan munculnya bakat-bakat beraneka aspek yang demikian subur, terutama kontribusinya yang beragam terhadap kajian mengenai politik dan hukum di timur tengah baik dari segi subsatnsi maupun teori.
Dalam karya tulis ini, Prof. Majid Khaduri untuk pertama kalinya mengemukakan dua komitmen ini guna mengkaji hukum dan politik atas dasar suatu persoalan yang paling sulit dewasa ini. jarang terjadi  dimasa – masa sejarah yang lalu, baik secara individual maupun kolektif di manapun, yang demikian dalam terikat pada persoalan-persoalan keadilan, suatu konsep yang sudah tentu sangat elusif( sukar untuk dipahami), tetapi tidak berarti Ilusif( menyesatkan). Tujuan karya tulis ini adalah  menyelidiki secara sistematik tulisan-tulisan para sarjana(cendekiawan) muslim termkemuka, baik klasik maupun modern, guna memberi suatu teori tentang keadilan Islami, tetapi penyelidikan itu dikaitkan secara konsisten terhadap dinamika-dinamika dan institusi-institusi politik dalam sejarah Islam.
Keadilan secara hakiki merupakan suatu konsep yang relatif. Kapan saja seseorang menegaskan bahwa yang ia pertimbangkan atas yang adil itu sah, ia harus relevan dengan tatanan sosial yang mantab dimana suatu skala  keadilan tertentu diakui. Skala keadilan sangat beragam dari suatu negara kenegara lain, dan masing masing skala didifinisikan serta di tetapkan olah masyarakat sesuai dengan tatanan masyarakat bersangkutan.
Buku ini tidak hanya diperuntukkan bagi para peneliti di bidang keislaman, tetapi juga diharapkan mampu membangkitkan minat siapa saja yang tertarik dengan keadilan sebagai suatu sarana promosi perdamaian melalui difusi dan tukar nmenukar gagasan. Tujuan dari buku ini adalah mengakji pengalaman-pengalaman islam dengan keadilan serta bagaimana para pemimpin dan pemikirnya berjuang dalam dlam persoalan bagaimana standar keadilan didefinisikan dan ditentukan sesuai dengan suatu tatanan ideal dan nilai-nilai yang pada akhirnya akan menentukan kesdaran publik.
B.     Inti Buku
1.      Sumber-sumber keadilan
Dalam Islam, Keadilan Ilahi diabadikan dalam wahyu dan kebijakan Ilahi( Hikmah Ilahi) yang dikomunikasikan Nabi Muhammad saw. Kepada Ummatnya. Wahyu yang terwujud dalam Firman Alloh, termaktub dalam al-Qur’an, sementara  Hikmah Ilahi diwahyukan kepada Nabi, diungkapkan dengan sabda Nabi sendiri serta disebarluaskan sebagi sunah yang selanjutnya dikenal sebagai Hadit atau Hadist Nabi.Kedua sumber Tekstual atau sumber otoritatif tersebut, perwujudan kehendak Ilahi dan keadilan, memberikan bahan baku tentang basis bagi para pakar, melalui penggunaan sumber penalaran derifatif. ketiga, yang disebut Ijtihad, guna menetapkan syariat dan iman.
2.      Makna Harfiah Keadilan
Secara harfiah, kata adl adalah kata benda Abstrak, berasal  dari kata kerja adala  yang berarti pertama, meluruskan atau duduk lurus, mengamandemen atau mengubah, kedua, melarikan diri, berangkat atau mengelak dari satu jalan( yang keliru) menuju jalan lain yang benar, ketiga sa,a atau spadan atau menyamakan, keempat menyambungkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam satu keadaan yang seimbang (state of equalibrium) .Akhirnya kata ‘adl atau ‘idl boleh juga berarti contoh atau yang semisal.(Qs. 5:95) sebuah ungkapan harfiah yang secara tidak langsung berhubungan dengan keadilan.
Dalam pengertian konseptual ibnu mungzir seorang leksikograf menyatakan bahwa” sesuatu yang terbina mantab dalam pikiran seperti orang yang berterus terang” identik dengan makna keadilan. sedangkang secara harfiah menurut Majid Khaduri Kata adala  dalam bahasa Arab klasik merupakan suatu gabungan nilai – nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan dan keterus terangan. Menurut hukum logika, keadilanilahi seharusnya menjadi suatu sintetis dari seluruh niali-nilai dan kebijakan-kebjakan, sudah tentu makna konseptual serupa, merupakan tema perdebatan diantara para tolog, ahli hukum dan filosof.
3.      Ide Keadilan dalan al-Qur’an dan Hadist
Nabi kita Muhammad SAW. memberi  konsepsi terhadap nilai keberanian dan kebajikan –kebajikan lainya, merasa sangat perlu menegaskan nilai-nilai relegius dan moral, untuk melembutakan/melunakkan kekejaman dan kekerasan. Karena alasan ini al-Qur’an dan hadist kerap kali memperingatkan orang-orang beriman agar melawan fanatisme dan penindasan dan memperingatkan bahwa dalam memnuhi kewajiban –kewajiban relegius mereka yang terpenting adalah harus berlaku adil. Didalam al-Qur’an lebih dari  duaratus peringatan melawan ketidak adilan dan dinyatakn dalam bentuk kata-kata serupa, seperti zulmun, itsm, dhalal  dan lain-lain. Tidak kurang dari seratus ungkapan yang memasukkan gagasan tentang keadilan, baik dalam bentuk kata-kata langsung semisal, ‘adl, qisth, mizan,  dan lain –lain.
yang selanjutnya dalam al-Qur’an dan hadist lebih ditekaankan hanya kepada Alloh Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada prinsip-prinsip religius dan moral lain yang lebih ditekankan, selain prinsip-prinsip kejujuran persamaan dan kesderhanaan.
Di dalam hadist Nabi SAW selalu berusaha untuk mejelaskan makna asal usul keadilan yang abstrak, yang disebut dalam al-Qur’an dengan contoh-contoh spesifik, diungkapkan dengan nilai-nilai hukum dan etika, guna membedakan antara perlakuan yang adil dan tidak adil, dengan maksud menetapkan peraturan-peraturan pokok, yang menjelaskan skala keadilan  bagaimana seharusnya dicapai.
4.      Keadilan Politik
Dalam pembahasan keadilan politik ini Majid Khaduri sebagai penulis buku membahas tentang doktrin-doktrin keadilan menurut  kelompok-kelompok tertentu seperti Sunni, Syiah, Khowarij, doktrin Qadar dan Jabar. Keadilan politik seringkali dianggap sebagai tujuan prinsipil dari suatu negara,adalah keadilan yang sesuai dengan kehandak yang berkuasa. Aristoteles, dalam mengajukan sesuatu perbedaan antara ragam bentuk keadilan politik yang paling luas cakupanya, sakala keadilannya adalah negara yang menentukan siapa yang adil atau tidak. Penguasa boleh jadi akan berlaku adil atau mungkin tidak, tergantaung apakah perundang-undangan negara beberapa unsur keadilan legal, etika atau sosial atau apakah semata-mata  memaksakan suatu kepentingan tertentu bersifat pribadi atau sebaliknya.
Sesuai dengan tatanan publiknya keadilan politik dalam Islam sudah tentu semua aspek-aspek dari keadilan berasl dari Alloh Yang Maha Kuasa, yang Kehendaknya tidak diujukan secara langsung pada pokok persoalan(komunitas orang-orang beriman), tetapi melalui seorang Nabi dan para Imam(penguasa) yang menggantikannya, karena orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menjalankan syariat dan menaati para Khalifatulloh yang diangkat.
Doktrin kaum suni dan syiah berpendapat bahwa kekuasan dan keadilan terletak pada imamat atu kholifah yang diangkat sedangkan kaum  kaum khowarij menolak dua doktrin legitmasi versi kaum kaum sunni maupu syiah dan mempertahankan bahwa kekuasaan tertinggi itu aalah milik Alloh, dan Dia sendiri adalah penguasa dan hakim diantara manusia(la hukmu illa li-Alloh).
Doktrin Qodar berdasr atas suatu premis bahwa manusia dengan kreasinya karena Alloh, telah dianugerahi kapasitas atau kehendak oleh karena itu istilah qodar( kekuasaan) menghasilkan perbuatan-perbuatan sendiri dan karena itu harus  tetap bertanggung jawab atasnya.
selain doktrin diatas dalam bab ini dibahs pula tentang keadilan politik sesuai doktrin penangguhan keputusan, keadilan politik sebagai kebijakan dan kadilan poliik sebagai balas jasa.
5.      Keadilan Teologis
Keadilan teologis adalah keadilan yang sesuai dengan doktrin yang ditetapkan oleh para teolog sehubungan dengan sifat kehendak(Irodah) Alloh dan Esensinya, walau para teolog sepakat bahwa keadilan teologis (jus divinum)  berasl dari Alloh dan bahwa dia nerupakan hakim terahir, mereka tidak sepakat mengenai apakah hal itu merupakan pernyataan kehendak dan Kekuasan-Nya. prcabangan dari perbedaan- perbedaan ini membuktiak demikian pentinga, bahwa para teolog muslim terbagi dlam dua mazhab pokok, mazhab wahyu dan mazhab akal budi. masing-masing menekankan pada salah satu sifat Allah dan mengakibatkan suatu perdebatan tak berkesudahan tantang hakikat keadian dan kemampuan manusia untuk meraelisasikannya dimuka bumi. Demikian pula tentang nasibnya di akhirat.
Keadilan sebagai pernyataan akal budi, menurut paham muktazilah menyebut diri mereka sendiri sebagai pendukung keadilan dan tauhid(ahlu al-‘adl wa At-tauhid) membawa tradisi kaum khowarij dan kaum Qodariyah, berpendapat bahwa manusia adalah pencipta perbuatan-perbuatanya sendiri. Ada tiga prinsip dasar bisa dikemukakan untuk menentukan ruang lingkup dan karakter doktrin keadilan rasional kaum muktazilah yaitu, prinsip Rasionalisme bahwa keadilan ditentukan oleh akal budi, prinsip Voluntarisme bahwa perbuatan-perbuatan manusia merupakan produk ikhtiar, dan prinsip pertanggung jawaban bahwa manusia diganjar(pahala) atau dihukum sesuai pilihannya antara keadilan dan ketidak adilan.
Prinsip-prinsip lain khususnya yang menekanakan perilaku manusia telah ditetapkan oleh anggota muktazilah yang terkemuka, prinsip-prinsip tersebut adalah :
a.       Prinsip Ke Esaan Allah( At-Tauhid)
b.      prinsip Keadilan (Al- ‘Adl)
c.       prinsip janji dan ancaman(al-wa’ad wa al-wa’id)
d.      prinsip posisi antara(al-Manzilah bayn al-Manzilatyn)
e.       prinsip menganjurkan pada kebaikan dan melarang kepada yang buruk( al-‘amr bil al-ma’ruf wa an-nahi ‘anil al- Munkari)
Disamping keadilan sebagai pernyataan akal budi kaum muktazilah juga menyebutkan keadilan sebagai pernyataan kehendak ilahi yaitu kaum muktazilah mendatangkan kegusaran dan antagonisme pada hampir semua kelompok dari permulaan hingga akhir dalam mencari suatu doktrin keadilan yang koheren dan rasional. mereka sepakat dengan para teolog lain tentang doktrin keesaan dan keadilan merupakan dua doktrin kaum muktazilah.
Dalam hal ini ada beberapa pertentangan  atau kaum muktazilah tidak sepakat tentang beberapa persoalan yaitu :
a.       ketergantunagan mereka kepada akal budi telah menomorduakan wahyu
b.      Menomorduakan wahyu dan memberikan kekuasaan kepada manusia untuk memutuskan persoalan
c.       Kaum muktazilah mengklaim untuk menggunakan akal budi sebagai suatu metode penyeledikan.
Dalam bab ini disebutkan jugatentang keadilan sebagai pernyataan usaha manusia:doktri Akuisi, sebagai suatu konsep akuisi tidak lah baru, para teolog terdahulu telah menunjuk suatu variasi makna, tetapi sebagai suatu doktrin yang dipertalikan pada asary, semata –mata berarti bahwa manusia telah diberi suatu peran tanggung jawab tertentu untuk berkiprah didalam kerangka kerja ( tatanan) Allah atas urusan-urusan manusia.
Doktrin-doktrin heterodok tentang keadilan
a.       Kaum syiah berpendapat bahwa pengetahuan manusia(‘Ilm) tentang sifat –sifat Allah dan doktrin-doktrin lainya berasal dari wahyu dan akal budi.
b.      Seperti halnya kaum muktazilah, kaum syiah berpendapat bahwa keadilan adalah sifat Ilahiah kedua setelah esensi dan KeEsaan Allah.
c.       Manusia adalah seorang agen bebas(fa’il bi al-Ikhtiyar)  dan penentu perbuatan-perbuatanya entah itu adil atau zalim karena mausia akan mempertanggungjawabkannya.
d.      Saat keadilan itu inhern dalam keimamatan, maka sudah dapat dipastikan bahwa selama sang imam tersebut dapat dilihat, keadilan akan direalisasikan dimuka bumi.
6.      Keadilan Filosofis
Keadilan filosofis tidak seperti keadilan teologis, adalah keadilan yang diidentifikasikan dan ditentukan oleh para filosof tidak sesuai dengan wahyu, tetapi dengan akal budi. meski para filosof muslim secara sadar telah mencoba menselaraskan  akal budi dengan wahyu, seperti jus natural. keadilan filosof adalah keadilan rsional dan secara esensial bersifat naturalistuk, oleh karena itu ia bersifat abadi dan tidak berubah terlepas dari waktu dan tempat.
Keadilan rasuonal sebagi keseimbangan antara keadilan ilahi dan keadilan tuhan, yaitu keadilan sebagi suatu konsep rasional dan menetapka suatu preseden betapa keadilan rasional itu bisa selaras dan seimbang dengan keadilan ilahi
Keadilan rasional sebagai keadilan Ideal yaitu dalam bentuk yang ideal sebagi keadilan teistik sebagai jawaban tentang kadilan teologis.
Keadilan filosof sangat berdekatan dengan keadilan Etis, sudah barang tentu keduanya saling melengkapi, sebagaimana halnya beberapa penulis tentang keadilan etis adalah para filosof bebas.


7.      keadilan Etis
Keadilan etisa dalah keadilan yang sesuai dengan kebikajakan-kebijakan tertinggi yang menentukan suatu standar tingkah laku manusia. Sesuai dengan keadilan Legal, manusia diperimtahkan untuk memenuhi standar minimum dari kwajiban-kwajiban akan tetapi sesuai dengan keadilan etis.
Keadilan Etis sebagi pernyataan kebijakan ilahi, Ibnu maskaweh dan ar-Razi menunjukkan bahwa suatu perhatian dalam teori etika serta mencoba menformulasikan suatu standar keadilan yang mengandung nilai-nilai islam. Mereka menjelaskan bahwa keadilan etis tidak semata-mata merupakan seperangkat kewajiban-kewajiban relegius dan legal, tetapi juga merupakan kewajiban-kewajiban moral atau kecenderunagan-kecenderungan terhadap yang baik maupun yang buruk, yang harus dijalankan oleh manusia disamping ia harus mencapai keadilan sesuai dengan suatu standar etis.
Keadilan etis sebagai pernyataan kebijakan-kebijakan insani tertinggi, terdiri atas  empat kebijakan yang diungkapkan oleh al-Ghozali yaitu :
a.       Kebijakaksanaan ( al-hikmah), kuwalitas pikiran manusia yang menentukan manusia membuat pilihan – pilihan, membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta mengekang dirinya sendiri dari perbuatan ekstrim.
b.      keberanian(asy-syaja’ah), kualiatas amarah dan kejengkelan yang boleh digambarkan sebagai suatu bentuk dari keberanian moral, bukan terburu-buru dan gegabah dan bukan pula pengecut.
c.       Kesederhanaan(al-Iffah), kualitas jalan tengah yang menentukan manusia untuk mengikuti jalan tengah(moderat) antara dua perbuatan ekstrim, misalnya bersikap jujur kepada orang lain dan moderat dalam kehidupannya.
d.      Keadilan(al-‘adl), yang tidak saja merupakan suatu keajaiban akan tetapi keseluruhan dari kebijakan-bijakan. Ia merupakan kesempurnaan dari segala kebajikan, yang berdiri atas atas ekuilibrium(keadaan seimbang) dan sikap moderat dalam tingkah laku pribadi dan urusan-urusan publik.
Menurut teori ath-Thuri tentang keadilan Etis didasarkan atas dua konsep, Kesetaraan(equivalen/musawah) dan kesatuan(wahadah) dengan satu penekanan pada yang disebut terakhir, karena memiliki kedudukan tertinggi dalam superioritas dan kesempurnaan yang terwujud dalam suatu konsep Tunggal( makin dekat sama yang Tunggal, makin mulia eksistensinya.
Keadilan Etis sebagai moralisasi keadilan, adalah keadilan etis yang kerap kali dipandang dari segi nilai-nilai tertentu untuk memebenarkan perbuatan-perbuatan manusia yang dari sisi luarnya sesuai dengan etika konvensional, meski dalam realitasnya tidak perlu merupakan ungkapan dari kebijakan tertinggi.
Salah satu filosof  dalam konsep keadilan etis sebagai moralisasi keadilan yaitu Ibnu Hazm, dia mengungkapkan tentang keadilan boloeh dianggap sebagi suatu rasionalisasi dari pola tingkah laku dan pembenaran etisnya, karena kegagalanya  dalam lembaga-lembaga pemerintahan (politics).Ia mencoba untuk mendapatkan sauatu jalan keluar(escape) didalam ilmu pengetahuan, akan tetapi bersabar menghadapi doktrin-doktrin atau metode-metode yang digunakan untuk membelamnya.
Ada tiga tokoh sebagi filosof tentang keadilan etis sebagai moralisasi keadilan yaitu, Ibnu Hzm, al-Magribi dan al-Mawardi, yang diteliti secara cermat sebagi contoh dari penulis-penulis yang memperlakukan keadilan etis, baik sebagi rasionalisasi dari pola-pola tingkah laku personal atau tingkah laku atau moralitas suatu tingkah laku seorang figur publik.
8.      Keadilan Legal
Keadilan legal adalah keadilan yang sesuai dengan hukum, menurut kaidah etimologi, keadilan adlah suatu istilah legal(menurut hukum) dan secara harfiah berarti jus dan justum  yang kadang prlu saling melengkapi, betapapun makna dari keadilan telah sangat diperluas untuk tidak hanya secara tidak langsung menurut hukum legal tetapi juga aspek-aspek yang lain. Dengan demikian hukum dan keadilan boleh serupa, karena beberapa elemen keadilan mungkin terkandung dalam substansi suatu hukum; tetapi hukum mungkin saja memiliki atau tidak memiliki keadilan sebagi suatu  tujuan, brgntung apakah suatu hukum ditetapkan untuk mencapai sebuah keadilan atau tujuan yang lain. Dalam islam hukum( syariat ) sangat jalin menjalin dengan agama, dan keduanya dianggap sebagai pernyataan dari kehendak Alloh dan keadilan, tetapi sebaliknya tujuan agama adalah untuk mendefinisikan dan menentukan tujuan-tujuan keadilan dan lain-lain, sementara fungsi syariat adlah untuk mengidentifikasikan jalan(istilah syariat sudah tentu mengandung makna ini) berdasrkan atas keadilan Allah dan tujuan lain yang direalisasikan.
Keadilan substansi merupakan suatu aspek internal dari suatu hukum, dn elemen-elemen keadilan yang terkandung dalam suatu hukum merupakan suatu deklerasi tentang kebenaran-kebenaran dan kesalahan-kesalahan. Dalam islam kebenaran-kebenaran dan kesalahan-kesalahan kita namakan hala dan haram dan membentuk beberaka kaidah umum dan khusus dari syariat islam.
Keadilan prosedural adalah aspek eksternal dari syariat yang dengan berdasar atasnya, keadilan substantif dicapai. Aspek keadilan ini yang sering kita sebut keadilan formal, dimanefastasikan pada tingkata reguralitas, ketelitian dan netral dalam penerapan(aplikasi) syariat.
Perbedaan antara keadilan substantif dan keadilan prosedural adalah, keadilan substantif dan keadilan prosedural adalah dua aspek keadilan yang dibatasi dan ditentukan oleh suatu tatanan publik dari suatu masyarakat biasa;oleh karena itu tidak  terdapat perbedaan atau konflik diantara keduanya. akan tetapi dalam praktik tidak ada satupun tatanan publik yang demikian hirarkis dan kohesif agar kebal terhadap kemungkinan adanya beberapa jenis perbedaan diantara dua aspek tersebut.
9.      Keadilan Diantara Bangsa-bangsa
Keadilan diantara bangsa-bangsa pada pokoknya merupakan keadilan legal. Standarnya tidak perlu merupakan suatu produk kesepakatn diantara semua bangsa. Akan tetapi ditentukan oleh hegemoni suatu bangsa atau lebih, yang memainkan suatu peran sentral diantara mereka. Dari zaman dahulu hingga zaman modern, tidak ada tatanan publik tunggal yang terbukti mampu seluruh dunia, dan oleh karena itu tidak ada standar tunggal dari keadilan yang diharapkan berlaku diseluruh dunia.
Keadilan dan tatanan publik islam, Negara Islam, terdiri atas suatu komonitas orang-orang beriman, yang diwarisi dengan suatu nilai-nilai untuk seluruh manusia, merupakan suatu negara universal. Tatanan publiknya yang berasal dari dan dijalankan atas nama Allah, secara potensial mampu memimpin seluruh umat manusia. Jadi negara merupakan suatu instrumen dimana islam berusaha mencapai sasarannya yang terakhir, yaitu terbinanya kehendak dan keadilan Allah dimuka bumi.
Jihad sebagai peperangan yang adil, Jihad adalah instrumen islam untuk mencapai sasaran-sasaranya, islam melarang semua jenis peperangan kecuali dalam bentuk jihad. Akan tetapi jihad, meskipun sering kali dilukiskan sebagai suatu perang suci, tidak perlu mengundang peperangan, sungguhpun suatu keadaan perang eksis diantara dar al-Islam dan dar al –harb  karena tujuan akhir islam bisa dicapai dengan cara damai dan juga dengan kekerasan.
10.  Keadilan sosial
Keadilan sosial adalah keadian yang sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai, terlepas dari norma-norma dan nilai-nilai yang mengejawantahkan dalam hukum, dan publik dipersiapkan untuk menerima melalui adat kebiasaan, sikap pasifnya atau alasan-alasan lainya. Bertentangan dengan konsep-konsep seorang edialis tentang keadilan, keadilan ilahi, keadilan alamiah atau rasional, maka keadilan sosial(biasanya sering masuk dalam keadilan distrubsi) pada pokoknya berkarakter positif lebih merupakan produk dari adat istiadat dan pengalaman manusia dari pada suara-suara akal budi.
Konsep keadilan sosial menurut Ibnu Khaldun: Pandangan Ibnu Khaldun tentang keadilan sosial tampaknya berasa dari kajian dan pengalaman pribadinya dengan kekuatan-kekuatan melaksanakan terhadap masyarakat yang terlepas dari tradisi-tradisi Islam. Akan tetapi pendapat para pakar kini bervariasi tentang persoalan-persoalan apakah penelitiannya tentang masyarakat berasal dari prespektif yang murni sekulaer atau Relegius. Ada yang terkesan dengan  metode induktifnya karena menggunakan konsep sekuler, misalnya, Ashobiyah ( suatu bentuk solidaritas sosial berdasrkan afiliasi sanak keluarga), dan menganggapnya seorang pemikir sekuler: lainya menegaskan kembali suatu pandangan bahwa ia dibesarkan dalam suatu tradisi hukum Islam dan filsafat serta memformulasikan teori-teori tentang masyarakat pada dasarnya didalam konteks tradisi Islam.
Konsep keadilan sosial menurut Ibnul al- Azroq: Dalam karyanya tentang ketrampilan sebagi Negarawan(statecraf)  Ibnu al-Azraq menerima konsep Ibnu Khaldun tentang keadilan sosial, meski bukan aspek proseduralnya. Seperti Ibnu Khaldun ia tumbuh dewasa serta menerima pendidikan awalnya di negara-negara Islam( Islamdom) Barat, akan tetapi ia menetap dan mempergunakan sisa hidupnya di negara-negara Islam Timur setelah banyak menghabiskan waktunya sebagai seorang hakim serta konselor disepanyol dan Afrika Utara.
Seperti Ibnu Khaldun, Ibnu al-Azraq berpendapat bahwa manusia menurut watknya adalah penindas(Opresive) dan zalim. Ia memandang pendapat tersebut nyaris sebagai suatu kebenaran(taken for Granted) hingga yang berkuasa dari rakyatnya cenderung mengejar jalan-jalan kezaliman kecuali kalau dikehendaki oleh kekeuatan-kekuatan tertentu untuk menahan.
Ibnu al-Azraq memandang bahwa keadilan sosial sebagai suatu konsep yang lebih luas dari pada keadilan prosedural, percaya bahwa para penguasa merupakan instrumen paling efektif untuk mencapai keadilan karena prestise  dan kekuasan yang mereka pegang disepan masyarakat mereka. Dalam sejaranya sebagai Negarawan beliau (Ibnu al Azraq) membujuk para penguasa untuk mendukung keadilan melalui dua sarannya yaitu, pertama: kezaliman akan mendorong pada distruksi,  kedua: kebijakan berdasarkan keadilan akan mempertinggi suatu prestise para penguasa.
11.  Perubahan-perubahan dalam konsep keadilan di Zaman Moderen
Perbedaan opini dari masing-masing mazhab dan para pakar bermuara pada kesepakatan bahwa  bentuk ideal keadilan sosial adalah, atau merupakan suatu sumber tentang suatu Jus divinum. Sumber-sumber asumsi tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
pertama: berasal dari suatu sumber  Ilahi yang sangat tinggi, keadilan hanya dikenal melalui suatu pembuktian yang tersedia untuk manusia. Mnurut sebagian, pembuktian dapat diperoleh di dalam Wahyu. Yang lain berpendapat bahwa akal budi diperlukan untuk memahaminya.
Kedua: keadilan yang diidentifikasikan dengan kualitas-kualitas Ilahi, nukanlah merupakan suatu konsep yang sedrehana bagi para pakar untuk mendifinisikannya menurut istilah-istilah manusia. Sebagian menganggapnya pengejawantahan dari kebijakan manusia tertinggi.
Ketiga: pokok-pokok dari keadilan ilahi adalah pokok-pokok persoalan mereka yang percaya kepada Alloh yang Maha Esa dan Maha Adil, yang lain yaitu umat manusia merupakan obyek dari keadilan itu.
Keempat: Suatu standar keadilan, baik ditentukan oleh akal budi maupun wahyu, menunjukkan kepada manusia jalan-jalan kebaikan dan kejahatan, dengan demikian masing-masing sesuai dengan keterangannya, dapat memperoleh kebenaran dan menolak kejahatan guna memperoleh kebenaran didunia ini dan keselamatan di akhirat kelak, artinya memperoleh kebahagiaan di dinia dan akhirat kelak.
C.    kesimpulan
Dalam karya tulis ini, Prof. Majid Khaduri untuk pertama kalinya mengemukakan dua komitmen ini guna mengkaji hukum dan politik atas dasar suatu persoalan yang paling sulit dewasa ini. jarang terjadi  dimasa – masa sejarah yang lalu, baik secara individual maupun kolektif di manapun, yang demikian dalam terikat pada persoalan-persoalan keadilan, suatu konsep yang sudah tentu sangat elusif( sukar untuk dipahami), tetapi tidak berarti Ilusif( menyesatkan). Tujuan karya tulis ini adalah  menyelidiki secara sistematik tulisan-tulisan para sarjana(cendekiawan) muslim termkemuka, baik klasik maupun modern, guna memberi suatu teori tentang keadilan Islami, tetapi penyelidikan itu dikaitkan secara konsisten terhadap dinamika-dinamika dan institusi-institusi politik dalam sejarah Islam.
Secara harfiah, kata adl adalah kata benda Abstrak, berasal  dari kata kerja adala  yang berarti pertama, meluruskan atau duduk lurus, mengamandemen atau mengubah, kedua, melarikan diri, berangkat atau mengelak dari satu jalan( yang keliru) menuju jalan lain yang benar, ketiga sa,a atau spadan atau menyamakan, keempat menyambungkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam satu keadaan yang seimbang (state of equalibrium) .Akhirnya kata ‘adl atau ‘idl boleh juga berarti contoh atau yang semisal.(Qs. 5:95) sebuah ungkapan harfiah yang secara tidak langsung berhubungan dengan keadilan.
Didalam al-Qur’an lebih dari  duaratus peringatan melawan ketidak adilan dan dinyatakn dalam bentuk kata-kata serupa, seperti zulmun, itsm, dhalal  dan lain-lain. Tidak kurang dari seratus ungkapan yang memasukkan gagasan tentang keadilan, baik dalam bentuk kata-kata langsung semisal, ‘adl, qisth, mizan,  dan lain –lain. Wallohu A’lam Bi showabihi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar