Minggu, 13 Mei 2012

SEMANTIK DAN SEMIOTIK DALAM AL-QUR'AN


SEMANTIK DAN SEMIOTIK DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
OLEH : AZIZ MUSLIM, S. PdI
A.    PENDAHULUAN
Dalam catatan sejarah Arab pra-Islam, komunitas Arab memiliki tingkat kemajuan yang pesat dalam perekonomian, hubungan dengan dunia international, dan terutama dalam aspek kebahasaannya. Tradisi sastra, prosa, dan puisi sudah menjadi tradisi Arab pra-Islam. Hal ini mengindikasikan sebelum Alquran turun, bangsa Arab sudah memiliki kemampuan tinggi dalam bidang bahasa. Alquran yang secara definitif adalah kitab yang diturunkan oleh Allah melalui Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab yang makna dan lafadz-nya dari Allah. pandangan teologis ini tentu tidak mengesampingkan kenyataan bahwa teknik penyampaiannya berkaitan erat dengan kesepakatan-kesepakatan (baca: bahasa konvensional) masyarakat pemakai bahasanya (baca: Arab) dan hampir semua kosakata yang terdapat pada Alquran telah digunakan dalam bentuk dan Weltanschauung tertentu oleh bangsa Arab pra Islam.
Pada titik inilah kajian semantik Alquran merabah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual Weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu (baca: Arab), tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang paling urgen adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Sebagaimana yang ditawarkan oleh Izutsu, pentingnya kajian kebahasaan untuk melihat Weltanschauung suatu masyarakat melalui pencarian makna kata yang terstruktur dalam jaringan relasional. Selain itu, masih dalam pendapat Izutsu, perlunya penyelidikan yang teliti dan cermat terhadap situasi budaya dan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.
Sementara itu dalam studi metodologi penafsiran Alquran, sebenarnya kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa pakar mufassir klasik, di antaranya adalah Al-Farra’ dengan karya tafsirnya Ma’anil Quran, Abu Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan lagi oleh Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya di aplikasikan oleh Aisyah bint Al-Syati’ dalam tafsirnya Al-Bayan Li Quran Al Karim. gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik Alquran.
Untuk menuju langkah ke teori Semantika Alquran, harus lebih teliti dalam mengkaji kosakata-kosakata Arab. Kosakata dilihat dari segi pendirian metodologis ada dua macam. Kedua tersebut adalah pandangan diakronik dan pandangan sinkronik. Diakronik secara etimologis adalah analisis bahasa dengan menitik beratkan kepada waktu. Dengan pandangan tersebut, secara diakronik kosakata adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas dengan caranya sendiri yang khas.
Beberapa kelompok kata tersebut dapat berhenti tumbuh dan mulai tidak digunakan lagi oleh masyarakat pemakai bahasa tersebut dalam jangka waktu tertentu, sedangkan kelompok kata yang lain dapat bertumbuh dan berkembang dalam jangka waktu yang lama. Analisis diakronik—menganalisis dan melihat perkembangan bahasa sesuai dengan Weltanschauung nya—meneliti perkembagan kosakata dalam beberapa tahapan. Pertama, analisis kata sebelum Alquran turun, atau pada masa jahiliyyah. Kedua, pada masa turunnya Alquran. Dan ketiga, setelah turunnya Alquran. Pada masa Arab pra-Islam, terdapat tiga sistem kata yang berbeda secara Pandangan dunianya. Pertama, kosakata badui murni. Kedua, kosakata kelompok pedagang yang memiliki karakteristik hampir sama dengan kosakata badui dan memiliki pandangan dunia sendiri. Ketiga, kosakata yahudi-kristen yang memiliki sistem religius yang juga hidup di tanah Arab. ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur analisis diakronik yang urgen terhadap kosakata Arab pra-Islam.
Sedangkan pandangan metodologi Sinkronik adalah sebuah analisis terhadap sistem kata statis yang merupakan satu permukaan dari perjalanan sejarah suatu bahasa sebagai konsep yang diorganisasikan dalam sebuah jaringan yang rumit. Kondisi statis dalam kata tersebut dipengaruhi oleh sesuatu yang artifisial. Kata tersebut di hasilkan oleh satu pukulan atau gerakan arus sejarah terhadap semua kata-kata dalam sebuah bahasa pada satu titik waktu tertentu. Contoh kongkretnya, pada masa pra-Islam, kata Allah bukan hanya digunakan oleh bangsa Arab yahudi dan nasrani, bahkan masyarakat Arab badui murni sudah mengenal kata itu sebagai nama tuhan. Selain kata Allah, bangsa Arab juga menggukan kata Alihah (tuhan atau dewa-dewa).
Eksisistensi kata Allah masa Arab pra-Islam setara dengan kata Alihah, dewa-dewa yang lain. Setelah Islam datang yang dibawa oleh muhammad dengan panduannya berupa Alquran, Islam tidak merubah kata Allah sebagai nama tuhan. Namun, konsep kata Allah yang ada pada masa pra-Islam sangat berbeda dengan konsep Allah yang dibawa oleh Islam. Konsep kata Allah yang ada pada pra-Islam berupa nama tuhan yang bersifat politeistik, bangsa Arab menggunakan kata tersebut untuk tuhan mereka yang politeistik. Pandangan seperti ini dirubah sejak Islam datang, kata Allah pada masa Islam menjadi monoteistik, tuhan yang tunggal. Analisis weltanschauung kata Allah pra-Islam merupakan kajian diakronik, dan analisis kata statis yang muncul pada permukaan setelah proses perjalanan sejarah bahasa dinamakan analisis sinkronik. Kata Allah dopengaruhi oleh sistem relasional Islam sebagai agama yang membawa ajaran monoteisme.
B.     SEMANTIK SEMIOTIK DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
1.       Makna Dasar
Setiap kata memiliki karakteristik tersendiri dalam pandangan dunianya (Weltanschauungnya). Dalam teori semantik, kata akan bisa dilacak dengan mencari makna atau arti dari kata itu sendiri, ini yang dimaksud dengan “Makna Dasar”. Makna dasar ini menjadi langkah awal dalam teori semantik untuk mencari makna dari sebuah teks atau kata tertentu. Kata dasar dari sebuah kata tertentu akan selalu melekat kapanpun dan dimanapun kata itu diletakkan. Dalam konteks Alquran, kata dasar dapat diterapkan dengan memberikan makna dasar atau kandungan kontekstualnya pada kata tertentu dalam Alquran, walaupun kata dasar tersebut diambil dari luar konteks Alquran. Kata dasar dapat diteliti dengan cara mencari makna kata tersebut secara leksikal dan meneliti dengan pandangan historis perkembangannya, dengan cara ini otomatis akan mengetahuai Weltanschauung kata tersebut. Kata Allah—sebagaimana yang sudah dicontohkan sebelumnya, kata Allah akan menjadi contoh untuk teori semantik selanjutnya—memiliki Makna Dasar tuhan atau dzat transendental, pemahaman ini berkembang sejak pra-Islam sampai Islam turun. Makna dasar kata Allah akan melekat pada kata tersebut dan tidak akan berubah meskipun dalam ruang waktu yang berbeda
2.       Makna Relasional
 Setelah Islam datang, kata Allah mengalami pergeseran makna konotatif dengan kosakata yang terdapat dalam konsep Islam (baca: Alquran). Makna kata Allah setelah mengalami pergeseran memiliki konsep yang berbeda, yaitu Tuhan yang bersifat monoteisme. Pergeseran itu terjadi karena ada relasional yang menyertainya. Momen ini disebut dengan “Makna Relasional”.
 Makna relasional menganalisa makna konotatif yang diberikan dan ditambahkan kepada makna dasar yang sudah ada dengan meletakkan kata dasar tersebut pada posisi tertentu, bidang tertentu, dan dalam relasi tertentu dengan kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Dalam studi Alquran, makna relasional mengkaji hubungan gramatikal dan konseptual kata fokus dengan kata yang lain dalam posisi tertentu.
3.       Struktur Batin (Deep Structure)
Sebuah kata memiliki struktur yang banyak dan ada di tempat yang berbeda. Meski demikian, makna kata tersebut selalu teratur dalam suatu sistem atau sistem-sistem yang lain. Dalam bidang semantik, ini disebut dengan “Struktur Batin”. Struktur batin (Deep Structure) secara general adalah mengungkap fakta pada dataran yang lebih abstrak dan riil, sehingga fakta tersebut tidak menimbulkan kekaburan dalam dataran manapun, dan semua ciri struktural dapat diungkap dengan jelas ke permukaan. Analisis struktur batin yang terdapat dalam Alquran secara definitif adalah mengungkap kecenderungan kosakata dalam Alquran dalam ayat tertentu dengan konteks yang menyertainya
4.       Bidang semantik (Semantic Field)
Dalam bahasa ada banyak kosakata yang memilki sinonim, terlebih dalam bahasa Arab. Aspek budaya terkadang juga masuk ke dalam aspek kebahasaan, meski kosakata itu sama secara leterlek, namun penggunaannya berbeda. Bidang semantik memahami jaringan konseptual yang terbentuk oleh kata-kata yang berhubungan erat, sebab tidak mungkin kosakata akan berdiri sendiri tanpa ada kaitan dengan kosakata lain. Alquran sering menggunakan kata yang hampir memiliki kesamaan, namun memilki titik tekan tersendiri.
Semantik merupakan istilah teknis yang menunjuk pada studi tentang makna. Semantik berarti teori makna atau teori arti yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna. (Mansoer Pateda, 1989:12) Dalam bahasa lain Henry Guntur Tarigan (1993: 7) menyatakan, semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang –lambang atau tanda-tanda yang menyatakan hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna kata, pengembangannya dan perubahannya. Suatu semantik terdiri dari dua komponen (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk. (Abdul Chaer, 1995:2)
 Pendekatan Semantik Ada tiga cara yang dipakai oleh para linguis dan filusuf dalam usahanya menjelaskan makna dalam bahasa manusia, yaitu :
(a) dengan memberikan definisi hakikat makna kata, (b), dengan mendefinisikan hakekat makna kalimat, dan (c), dengan menjelaskan proses komunikasi. Pada cara yang pertama, makna kata diambil sebagai konstruk, yang dalam konstruk itu makna kalimat dan komunikasi dapat dijelaskan Pada cara yang kedua, makna kalimat diambil sebagai dasar, sedangkan kata-kata dipahami sebagai penyumbang yang sistematik terhadap makna kalimat. Pada cara yang ketiga, baik makna kalimat maupun makna kata dijelaskan dalam batas-batas penggunaannya pada tindak komunikasi. ( Wahab, 1995: 9)
5.      Pengertian Semiotik
Dari ayat ini, penulis akan mencoba memahaminya dari tinjauan tafsir Semiotic yang bermain pada tataran tanda-tanda yang kemudian diartikan menurut asumsi masing-masing kepala yang berbeda, dan juga akan mencoba melihat dari tinjauan tafsir Hermeneutik yang beroperasi pada wilayah pemaknaan atas teks yang ada.
 Tafsir Semiotic.
Perintis awal semiotika adala Plato yang memeriksa asal-muasal bahasa dalam Cratylus. Juga Aristoteles yang mencermati kata benda dalam bukunya Poetics dan On Interpretation. Kata “Semiotika” barasal dari bahasa Yunani seme, seperti dalam semeiotikos, yang berarti penafsir tanda. Sebagai suatu disiplin, semiotika berarti ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan itu berfungsi.
Tafsir Semiotic merupakan penafsiran yang lebih melihat pada analisa tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi pada teks al-Qur’an, yang akan kami lakukan menurut teori tiga tokoh semiotika terkemuka, yaitu Charles Peirce, Ferdinand de saussure, dan Roland Barthes yang akan kami coba bahas satu persatu.
a)       Semiotic Ferdinand de Saussure
Saussure dianggap sebagai bapak semiologi, dengan teori semiotiknya yang terkenal dengan Struturalisme. Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebutnya dengan Penanda (signifier). Penanda adalah aspek material dari sebuah tanda. Sebagaimana kita menangkap bunyi saat orang berbicara. Bunyi ini muncul dari getaran pita suara (yang tentu saja bersifat material). Sisi kedua adalah apa yang disebut Saussure sebagai Petanda (signified). Petanda merupakan konsep mental, seperti ketika kita menyebut kata ‘anjing” (yang disusun dari penanda a-n-j-i-n-g), adalah apa yang terkesankan pada pendengar, bukanlah anjing yang sesungguhnya, melainkan sebuah konsep tentang “keanjingan”, seperti bertaring, berkaki empat, menggigit, ekornya selalu bergoyang, menggonggong dan suka kencing sembarangan.
Satu hal yang sangat penting juga pada kajian Saussure tentang tanda linguistik adalah adanya sifat Arbitrer (mana-suka) yang mengaitkan antara penanda dan petanda. Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap fenomena bahasa (langange) selalu dibentuk oleh dua faktor, yaitu Parole (ekspresi kebahasaan) dan Langue (sistem pembedaan di antara tanda-tanda) yang kemudian terjadi semacam konvensi yang tidak disadari yang membentuk sistim bahasa tersebut kemudian akhirnya dipatuhi. Bahasa merupakan gabungan sintagmatis dari adanya gabungan penanda dan petanda yang kemudian terdapat sinkronisasi yang bisa dipahami.
Dari ayat diatas, pembahasan pokok dan menarik untuk kita kaji secara semiotik adalah kata ترهبون yang secara akar bahasa berasal dari kata َرهِبَ yang diartikan takut/gentar. Sedangkan kata ترهبون mayoritas mufassir mengartikan menakut-nakuti. Lafadz ترهبون berposisi sebagai sebuah penanda karena bersifat material, sedangkan petanda dari lafadz tersebut berupa konsep yang muncul dari kata  ترهبون bisa berupa tindakan menakut-nakuti saja, dan bisa juga muncul konsep dalam benak kita yaitu menakut-nakuti dengan adanya unsur goncangan dan mungkin juga menakut-nakuti dengan adanya unsur teror. Karena menurut Saussure hubungan antara penanda ترهبون dengan petanda yang berupa konsep “menakut-nakuti” itu bersifat mana suka atau arbitrer.
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو الله
Dan ketika ayat tersebut disusun menurut sintagmatis secara lInear, maka timbullah makna asosiatif paradigmatis yang berupa pikiran-pikiran yang menentukan makna dari ayat tersebut. Yang akhirnya akan memunculkan berbagai makna berbeda tentang bagaimana menggambarkan konsep “menakut-nakuti”, sesuai dengan konsep masing-masing yang dipikirkan.
b)      Semiotic Roland Barthes
Roland Barthes adalah seorang tokoh semiotika penganut madzhab Strukturalisnya Saussure, jadi tidak jauh berbeda dengan konsep Strukturalis ala Saussure yang tetap menganggap bahwa dalam tanda linguistik terdapat dua sisi yang saling berhubungan, yaitu penanda yang diistilahkan oleh Barthes dengan Expression, dan petanda yang diistilahkan dengan Content, kemudian keduanya terjadi Relasi (hubungan) yang menimbulkan makna Denotasi atau makna sebenarnya. Kesatuan expression yang berhubungan dengan content yang kemudian menimbulkan makna denotasi disebut sebagai sistem I, sedangkan dari sistem I ini kemudian berhubungan dengan content kedua yang akhirnya memunculkan makna Konotasi atau makna tidak sebenarnya. Dan kesatuan proses tadi sampai timbulnya makna konotasi kemudian disebut sitem II. Makna konotasi yang terus menerus akan menjadi Mitos, dan mitos yang terus-menerus akan menjadi Ideologi.
Ketika saussure hanya berhenti sampai pada hubungan penanda dan petanda, maka Barthes meneruskan konsentrasinya pada makna konotasi yang timbul dari hubungan antara kedua tanda linguistik tersebut. Jika content berubah-ubah dari expresi yang tunggal, maka content-content tersebut dinamakan dengan makna Konotasi, sedangkan jika content-nya tetap dan expresinya yang berubah-ubah, maka itu dinamakan dengan Metabahasa.
Teori ini jika kita terapkan pada ayat diatas adalah, tidak begitu jauh berbeda dengan konsep penanda dan petanda ala Saussure. Seperti yang ada pada lafadz ترهبون ini berposisi menjadi penanda yang dalam bahasa Barthes adalah expression atau ucapan, sedangkan petanda yang berupa konsep yang dalam bahasa Barthes adalah content atau isi adalah konsep tentang “menakut-nakuti”. Adanya hubungan antara expresi dan content kemudian memunculkan makna denotasi yaitu makna menakut-nakuti yang sesungguhnya.
Dari makna denotasi tersebut, maka muncullah makna konotasi dari ترهبون yang bisa berupa menakut-nakuti dengan teror statement, menakut-nakuti dengan pelecehan, menakut-nakuti dengan ancaman, menakut-nakuti dengan penyerangan atau bahkan menakut-nakuti dengan tindakan pengeboman. Maka semua itu dinamakan makna konotasi. Dan jika content-nya tetap yaitu konsep tentang “menakut-nakuti”, akan tetapi expresinya berbeda-beda, seperti kata menghujat, mengancam, menghardik, meneror, menyerang, atau mengebom, maka hal tersebut dinamakan metabahasa.
c)      Semiotic Charles Peirce
Berbeda dengan apa yang diungkapkan Saussure yang meyakini bahwa tanda memiliki dua sisi keterkaitan. Konsep semiotika yang dianut Peirce adalah bahwa teori tanda dibentuk oleh hubungan tiga sisi. Tiga sisi hubungan tersebut adalah Representamen (oleh Peirce disebut juga “tanda”) yang berhubungan dengan Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda atau representamen), yang dengan hubungan tersebut membuahkan Interpretant (sesuatu yang dicerap oleh benak kita, sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri).
Wujud Interpretant yang tersamar, memungkinkan ia menjelma menjadi Tanda/Representamen baru. Dan hasilnya adalah satu mata rantai semiosis. Ini menempatkan Interpretant dalam satu hubungan dengan Objek lain, yang pada gilirannya akan melahirkan Interpretant baru. Interpretant ini nantinya ditransformasi menjadi Tanda/Representamen yang berhubungan dengan Objek berikutnya, yang mengakibatkan lahirnya Interpretant lain. Ini terus berlangsung tanpa batas yang disebut dengan unlimited semiosis atau mata rantai semiotika tanpa batas.
Aplikasi teori Peirce ini pada contoh ayat diatas adalah, jika kita membahas lafadz ترهبون yang berposisi sebagai Representamen/Tanda, kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek yang berupa ”kekuatan militer”, maka akan membuahkan Interpretant berupa ”menakut-nakuti dengan kesiapan kekuatan militer”. Ini merupakan hubungan tanda sederhana yang dibentuk oleh tiga sisi
Dari tiga sisi hubungan tanda ini, bisa menjadi mata rantai semiotika yang panjang dan bahkan tanpa batas. Lafadz ترهبون yang menjadi Representament/Tanda berhubungan dengan Objek berupa “kekuatan militer”, maka membuahkan Interpretant berupa “menakut-nakuti dengan kekuatan militer”. Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament baru yang berhubungan dengan Objek berupa “meneror”, maka membuahkan Interpretant baru berupa ”menakut-nakuti dengan teror”. Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament baru yang berhubungan dengan Objek berupa “menyerang”, maka membuahkan Interpretant baru lagi berupa ”menakut-nakuti dengan mengebom”, dan begitu seterusnya.
Maka tidaklah suatu hal yang aneh jika dari ayat tersebut terjadi perbedaan pemaknaan lafadz ترهبون yang berarti “menakut-nakuti”, tergantung Objek yang dirujuk oleh masing-masing kepala. Para mufassir konvensional mengkonsepsikan ترهبون dengan Objek “persiapan militer yang kokoh”, maka timbullah Interpretant lafadz ترهبون adalah “menakut-nakuti dengan kekuatan militer”. Berbeda dengan itu, kelompok kaum muslim radikal mengkonsepsikan ترهبون dengan Objek “penyerangan”, maka timbullah Interpretant lafadz ترهبون adalah “menakut-nakuti dengan penyerangan”. Maka tidaklah mengherankan jika mereka melakukan tindakan terorisme dengan melakukan pengeboman ataupun dengan cara lain, hal ini tidak lain adalah karena perbedaan konsepsi Objek dari Representamen lafadz ترهبون
C.    KESIMPULAN/PENUTUP
Semantik merupakan istilah teknis yang menunjuk pada studi tentang makna. Semantik berarti teori makna atau teori arti yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna. Pendekatan Semantik Ada tiga cara yang dipakai oleh para linguis dan filusuf dalam usahanya menjelaskan makna dalam bahasa manusia, yaitu : (a) dengan memberikan definisi hakikat makna kata, (b), dengan mendefinisikan hakekat makna kalimat, dan (c), dengan menjelaskan proses komunikasi.
Dari diskusi panjang diatas, dengan melihat corak penafsiran menggunakan pendekatan semiotic maupun hermeneutik, dapat kita ketahui bahwa perbedaan penafsiran yang ada adalah perbedaan persepsi yang dimilki oleh masing-masing penafsir dalam memahami tanda ataupun teks yang ada, sehingga memunculkan keberagaman pemahaman yang timbul. Ukuran yang digunakan bukanlah salah atau benar karena sesuatu pemahaman itu relatif dan tidak bisa dihukumi, akan tetapi ukurannya adalah tepat atau tidak tepat, setidaknya menurut penulis.
Dan dari apa yang sedikit penulis lakukan diatas, adalah satu usaha kecil yang berusaha untuk ikut untuk mengais setetes air di hamparan samudra al-Qur’an yang teramat luas. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang dimiliki, penulis sangat mengharapkan untuk mampu melakukan kegiatan serupa dengan lebih maksimal. Akhirnya demikianlah yang dapat penulis sajikan, semoga sedikit usaha ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan lebih-lebih dapat memberikan manfaat pada orang lain. Amin.
والله أعــــلم بالصـــــواب


REFERENSI
1.      Izutsu, Toshihiko. 2003. Relasi Tuhan Dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Alquran. Tiara Wacana. yogyakarta
2.      Izutsu, Toshihiko. 1997. konsep-konsep etika religius dalam Alquran. Tiara Wacana. yogyakarta
3.      Pateda, Mansoer. 2001. Semantik leksikal. PT Rineka Cipta: Jakarta.
4.      Djajasudarma, T. Fatimah. Tanpa tahun. Semantik: pengantar ke arah ilmu makna. PT. Rafika: Bandung
5.      Aditama. 2002. Abdul Chaer. Pengantar semantik bahasa Indonesia. PT Rineka Cipta: Jakarta
6.      Tarigan. 1993. Pengajaran semantik: penerbit Angkasa: Bandung
7.      Abdurrahman binti syati’, Aisyah. Tanpa tahun. At-Tafsir Al-Bayani Li Alquran Alkarim, Kairo : Dar Al-Ma’arif.

1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino & Hotel - MapYRO
    Find Harrah's 과천 출장마사지 Cherokee Casino 원주 출장마사지 & Hotel (Things to Do) baoji titanium in Cherokee, 포천 출장마사지 NC, United States, 삼척 출장마사지 revenue, industry and

    BalasHapus