Rabu, 09 Mei 2012

Integrasi antara Ilmu dan Agama

HUBUNGAN ilmu dan agama, baik dalam ranah ontologis, epistemologis maupun ontologis selalu menyisakan persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Berawal dari temuan Copernicus (1473-1543) yang kemudian diperkuat oleh Galileo Galilei (1564-1642) tentang struktur alam semesta yang heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) berhadapan dengan gereja yang geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), telah melahirkan ketegangan antara ilmu dan agama. Penerimaan atas kebenaran ilmu dan agama menjadi satu pilihan yang dilematis.

Di Inggris pada tahun 1870 dalam satu kuliah umum Max Muller telah mengejutkan audiensnya ketika ia mempromosikan apa yang ia sebut sebagai ilmu agama (science of religion). Satu kombinasi yang pada saat itu dianggap aneh karena pasca Origin of Species-nya Darwin, kebenaran ilmu dan agama semakin tidak dapat dipertemukan. Yang satu meyakini bahwa alam semesta terjadi karena diciptakan langsung oleh Tuhan (kreasionisme) dan yang lain menganggap alam semesta semata-mata merupakan proses alamiah yang sangat panjang.

Di Indonesia, dikotomi ilmu dan agama ini dapat dilihat pada dua corak pendidikan, penddikan ala IAIN yang menekankan pada pendidikan agama dan ala perguruan tinggi umum yang lebih mengembangkan keilmuan ‘sekuler’, idealitas hubungan keduanya digambarkan oleh Damardjati Supadjar dengan istilah keterpaduan masjid dan kampus.

Dewasa ini, persoalan hubungan ilmu dan agama lebih mengemuka dalam ranah etis. Teknologi sebagai anak kandung ilmu dianggap telah menghasilkan dampak negatif bagi kelestarian alam semesta, baik berupa pencemaran lingkungan, bencana alam maupun pada kerusakan moralitas manusia. Belum lagi ketika bidang kedokteran menemukan teknologi cloning dan berbagai rekayasa genetika yang hendak diterapkan pada manusia. Namun demikian, persoalan dalam ranah etis ini tidak berdiri sendiri, karena tentu ada persoalan epistemologis dan ontologis yang berada dibelakangnya.

Tulisan ini berusaha menjawab hubungan ilmu dan agama melalui pendekatan filosofis, karena menurut pendapat penulis, filsafatlah yang secara netral dan proporsional dapat menjembatani sekaligus mempertemukan dua domain ini. Tulisan ini akan memjawab dua pertanyaan pokok: 1) bagaimana konsep hubungan ilmu dan agama ini dibicarakan secara akademik, dan 2) bagaimana hakikat integrasi ilmu dan agama baik dalam ranah ontologis, epistemologis, dan aksilogis.
Dalam mengeksplorasi hubungan ilmu dan agama ini, penulis menggunakan pandangan-pandangan seorang pemikir Islam kelahiran Persia, yaitu Mulla Shadra (1572-1641), sebagai suatu perspektif. Hussein Nasr menilai bahwa Mulla Shadra secara cemerlang telah menghidupkan kembali filsafat Islam setelah dianggap mati bersamaan dengan meninggalnya Ibnu Rusyd. Mulla Shadra secara harmonis telah merangkum beragam corak pemikiran yang berkembang di dunia Islam, yaitu Filsafat Paripatetik (masysya’i) Islam dari Ibnu Sina, iluminasionisme (teosofi isyraqi) dari Syuhrawardi, ajaran tasawuf dari Ibnu ‘Arabi, dan teologi Islam (kalam) termasuk sabda Rasulullah dan para imam Syi’ah. Karena itu, pemikirannya dikenal sebagai Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (hikmah yang tertinggi), seringkali disebut juga sebagai hikmah yang ketiga setelah Al-Hikmah Al-Masysya’iyyah dari Ibnu Sina dan Al-Hikmah Al-Isyraqiyyah Syuhrawardi.

Refleksi awal tentang pemikiran Mulla Shadra dapat dikemukakan bahwa ia menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi “konflik”, keduanya mempunyai tolak ukur kebenaran sendiri tetapi kebenaran yang diperoleh tidaklah saling bertentangan. Metode yang di gunakan untuk menemukan kebenaran ilmu dan agama bersifat kooperatif-saling mendukung. Ini terlihat dari pandangannya yang tidak menolak rasio dan empiris sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran, disamping ia juga menambahkan metode sufistik untuk mencapai kebenaran hakiki. Mulla Shadra melakukan sintesis terhadap sumber pengetahuan yang meliputi iluminasi intelektual (kasyf, zauq atau isyraq), penalaran atau pembuktian rasional (‘aql, burhan, atau istidlal) dan agama atau wahyu (syar’ atau wahy).

Kebenaran ilmu dan agama dianalogikan sebagaimana sinar yang ‘satu’ yang menyinari suatu ruangan yang memiliki jendela dengan beragam warna. Setiap jendela akan memancarkan warna yang bermacam-macam sesuai dengan warna kacanya. Demikianlah ia menggambarkan bahwa kebenaran berasal dari Yang Satu, dan tampak muncul beragam kebenaran tergantung sejauh mana manusia mampu menangkap kebenaran itu. Kebenaran yang ditangkap ilmuwan hanyalah sebagian yang mampu ditangkap dari kebanaran Tuhan, demikian pula kebenaran yang ditangkap oleh agamawan. Dengan demikian, kebenaran yang ditangkap ilmuwan dan agamawan bersifat komplementer, saling melengkapi.

Mulla Shadra adalah tokoh yang hidup sezaman dengan Galileo Galilei. Artinya ketika di Barat sedang terjadi kebuntuan pemahaman tentang ilmu dan agama, Mulla Shadra telah mempunyai konsep yang cemerlang untuk menjawab kebuntuan itu. Satu kondisi atmosfir keilmuan yang sangat kontras karena di Barat sedang terjadi konfrontasi antara ilmu dan agama sedangkan di dunia Islam hubungan ilmu dan agama justru mengalami penguatan.

Pemikiran Mulla Shadra, sebagai bagian dari fragmentasi perkembangan pemikiran Islam, secara cerdas dan jernih menempatkan kedudukan ilmu dan agama pada posisi yang harmonis. Tidak salah tentunya apabila ada ungkapan bahwa kemajuan pemikiran Islam terjadi manakala agama secara mutualis menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu. Agama bukan penghambat perkembangan ilmu sebagaimana terjadi di Barat tetapi justru merupakan pendorong sekaligus ruh bagi karakteristik keilmuan Islam.
Hubungan Ilmu Dan Agama
Pengertian ilmu
Ilmu merupakan istilah yang memiliki beragam makna. Menurut The Liang Gie ilmu dapat dibedakan menurut cakupannya. Pertama, ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu seumum-umumnya. Adapun dalam arti yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari satu pokok soal tertentu misalnya antropologi, geografi, sosiologi. Tulisan ini menempatkan pemahaman ilmu pada arti yang pertama.

Ilmu dapat pula dibedakan berdasarkan maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam arti pengetahuan, dikatakan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (any systematic body of knowledge). John G. Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah. (all knowlwdge collected by means of the scientific method).

Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang berarti ‘tahu’. Dalam bahasa Inggris di sebut science berasal dari perkataan Latin scientia yang diturunkan dari kata scire yang berarti mengetahui (to know) atau belajar (to learn). Dalam arti yang kedua ini ilmu dipahami sebagai aktifitas, sebagaimana dikatakan Charles Singer bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan (science in the process which makes knowledge). Sebagai aktifitas, ilmu melangkah lebih lanjut pada metode. Titus mengatakan bahwa banyak orang mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat membuktikan kebenarannya (a method of obtaining knowledge that is objective and verifiable).

Pengertian Agama
Dalam Musyawarah Antar Agama di Jakarta, 30 November 1967, terkait dengan agama, H.M. Rasjidi mengatakan bahwa agama adalah hal yang disebut sebagai problem of ultimate concern, oleh karenanya tidak mudah untuk didefinisikan. Mukti Ali menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit didefinisikan, yaitu pertama, pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan subjektif. Kedua, membahas arti agama selalu melibatkan emosi. Ketiga, arti agama dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama tersebut.

Agama secara etimologis berasal dari bahasa Arab “aqoma” yang berarti ‘menegakkan’. Sementara kebanyakan ahli mengatakan bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu a (tidak) dan gama (berantakan), sehingga agama berarti tidak berantakan. Namun ada pula yang mengartikan a adalah cara dan gama berarti jalan. Agama berarti cara-cara berjalan untuk samapai kepada keridhaan Tuhan. Selain dua pandangan tersebut, kata ‘agama’ sering disejajarkan dengan kata majemuk “negara kertagama” yang berarti peraturan tentang kemakmuran agama, atau juga dengan kata majemuk “asmaragama” yang berarti peraturan tentang asmara, dengan kata lain agama dalam hal ini dapat diartikan peraturan atau tata cara.

Agama yang dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman disebut religion atau dalam bahasa Belanda disebut religie, diambil dari bahasa Latin, yaitu relege (to treat carefully), relegare (to bind together) dan religare (to recover). Dalam Islam ‘agama’ disebut dengan ‘dien’ yang oleh Moenawar Chalil dijelaskan bahwa:
“Kata dien itu mashdar dari kata kerja daana – yadienu. Menurut lughat, kata dien itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain berarti: 1) cara atu adat istiadat, 2)peraturan, 3) undang-undang, 4) taat atau patuh, 5) menunggalkan ketuhanan, 6) pembalasan, 7) perhitungan, 8) hari kiamat, 9) nasihat, 10) agama.”
Dalam Filsafat Perennial, agama memiliki dimensi eksoterik (bentuk) dan esoterik (substansi). Secara eksoterik di dunia ini dikenal banyak agama, namun diantara keragaman agama tersebut setiap agama memiliki substansi yang menjadi titik temu bagi keragaman tersebut. Agama yang dimaksud dalam tulisan ini secara eksoterik adalah Islam, namun secara esoterik tentu Islam memiliki nilai-nilai universal yang juga ada setiap agama.

Ragam Hubungan Antara Ilmu dan Agama
Dalam wacana pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut berasal dari Yang Satu. Turunnya ayat pertama dalam Islam juga dimulai dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra), sejalan pula dengan misi Nabi Muhammad Saw., untuk memberantas kebodohan (jahiliyyah), sebagai lawan dari berpikir yang rasional. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya didalam al-Qur’an ayat-ayat berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berpikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu. Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan suatu pencarian religius.(Dr. Arqom Kuswandono:Integrasi ilmu dan Agama)
pepatah mengatakan The science withuot Relegius is blind, the Relegius without science is futile

Tidak ada komentar:

Posting Komentar