Jumat, 18 Mei 2012

TEORI BELAJAR KOGNITIFISME DALM PAI


TEORI BELAJAR KOGNITIVISME DALAM PAI
A.    Pendahuluan
Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan, yakni belajar.  Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori belajar Kognitifisme?
2.      Bagaimana aliran pembelajaran teori belajar kognitifisme?
3.      bagaimana penerapan teori belajar Kognitifisme dalam PAI ?
C.    Teori-teori  belajar Kognitifisme
Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt, teori medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori penemuan Bruner  dan teori kognitif Bandura.
1)        Teori Gestalt
Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt ini belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Menurut teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan, pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum yang terkenal dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz ini lebih kurang berarti teratur, seimbang, dan harmonis. Belajar adalah mencari dan mendapatkan pragnanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Untuk menemukan pragnanz diperlukan adanya pemahaman (insight).

Menurut Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu: (1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan pemahaman dapat diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi lain (Sukmadinata, 2007: 171).

2)        Teori Medan (field theory)
Teori medan (field theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun kognitif. Teori medan ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang menekankan keseluruhan dan keterpaduan. Menurut teori medan, individu selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup (life space), yang digambarkan oleh Kurt Lewin sebagai berikut:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIEU14-nqH1V1UzxXypuGrbVntYChObpBFq_FHsLijCAC7Glt-TElbQWRz1sY6pQSWN3NXt7R6VNgVO6YILxZJd1PZnVKChzDI29EkXQQfWKERGIKFNTJoASXX3dSlkQ7fdTzn5I_9ZUA/s400/Teori+Medan+Kurt+Lewin.jpg




Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu saja ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila individu tersebut telah berhasil mencapai tujuan, maka masuk ke dalam medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-hambatan baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan masuk ke dalam medan psikologis berikutnya (Sukmadinata, 2007: 171).
Kaitannya dengan proses belajar, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa teori medan menganggap belajar sebagai proses pemecahan masalah. Menurut Lewin (Sanjaya, 2006: 120), beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah dalam belajar adalah:
a)        Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan contoh adalah sebagai berikut:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQmU0OxeAyfA9h4m7Uu8NNeC0zsJ43Cr1YWmpjDzXdKJNGu0vytU3zpbplpJIudhQrQr2gcKvbvsdiMixnY4NW26Ham_fJNSu00fBCf-3729lpU2aH4_TnyAMvBnvYHn6o52wSuG0eqZ4/s320/Sembilan+Titik+Kurt+Lewin.jpg
Orang yang melihat sembilan buah titik tersebut sebagai sebuah bujur sangkar akan sangat sulit memecahkan persoalan tersebut. Agar sembilan buah titik dapat dilewati dengan 4 buah tarikan garis, maka harus mengubah struktur kognitif bahwa kesembilan buah titik itu bukan sebuah bujur sangkar.
b)        Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ektern).
3)        Teori Perkembangan Piaget
Kaitannya dengan perkembangan kognitif, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan (http://www.e-psikologi.com). Keempat tahapan itu adalah:
a)        Tahap sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi sedikit mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan bena-benda lain.
b)        Tahap pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai memiliki kecakapan motorik. Pada masa ini anak menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek. Misalnya seorang anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi yang sat berada dalam gelas panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan mengatakan bahwa air di gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.
c)        Tahap operasional konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang sama dalam kondisi yang berbeda.
d)       Tahap operasional formal setelah usia 11 tahun. Pada masa ini anak mulai memasuki dunia “kemungkinan” dari dunia yang sebenarnya atau anak mengalami perkembangan penalaran abstrak (http://id.wikipedia.org).
Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22). Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik. Artinya, perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dari perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006: 122).
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru, informasi tersebut akan dimodifikasi sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin, 2002: 199).
Uraian tersebut di atas memberi sebuah pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget tentang proses belajar seseorang adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya (Muhaimin, 2002: 200).

4)        Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).

Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan. Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada pada struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007: 188)
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta didik tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201).
Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan belajar (advance organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila dirancang dengan baik, advance organizers akan mempermudah peserta didik mempelajari isi pembelajaran karena kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan dengan apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak atau ringkasan mengenai apa yang dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan (Muhaimin, 2002: 202).
Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).
5)        Teori Penemuan Bruner
Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26)

Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif di mana mereka harus mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah yang mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan penemuan (Trianto, 2007b: 33).
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga  berbicara tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif, dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap  simbolik, dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan sistem simbol (Muhaimin, 2002: 200).
Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu menunggu sampai seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun asalkan materi pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan sesuai dengan karakteristik perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menata strategi pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari dan tingkat perkembangannya (Muhaimin, 2002: 201).

6)        Teori Kognitif Bandura

Albert Bandura mengatakan bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan perilaku. Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip belajar menurut Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda dengan situasi di laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak memerlukan pengamatan tentang pola perilaku beserta konsekuensinya pada situasi alami (Djaali, 2007: 93).
Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Seorang belajar dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ulang kembali. Melalui jalan pengulangan ini akan memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya (Trianto, 2007b: 31).
Bandura juga menyatakan bahwa perilaku seseorang dan lingkungan itu dapat dimodifikasi. Buku tidak berpengaruh pada seseorang, kecuali ada orang yang menulisnya dan orang yang memilih untuk membaca. Oleh karena itu, hadiah atau hukuman tidak akan banyak bermakna, kecuali diikuti oleh lahirnya perilaku yang diharapkan. Diperolehnya perilaku yang kompleks bukan hanya disebabkan oleh hubungan dua arah antara pribadi dan lingkungan, melainkan hubungan tiga arah antara perilaku – lingkungan – peristiwa batiniah (reciprocal determinism/ determinasi timbal balik). Contoh: seorang yang telah berlatih, akan timbul perasaan percaya diri. Perilakunya menimbulkan reaksi baru, yang pada akhirnya reaksi ini mempengaruhi kepercayaan dirinya yang kemudian menimbulkan perilaku berikutnya dan dapat melukiskan perilaku yang baru itu, meskipun dia tidak melakukannya (Djaali, 2007: 94).
D.     Strategi Kognitif
Strategi kognitif merupakan keterampilan yang terorganisasi dari dalam yang fungsinya untuk mengatur dan memonitor penggunaan konsep dan aturan atau kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah dan mengambil keputusan (Gagne, 1974).
Stretegi kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif (Gagne’s Taxonomy) setelah analisis, sintesis dan evaluasi (Bloom Taxonomy).
Adapun jenis Strategi Kognitif, antara lain:
1.      Strategi memperhatikan dan melakukan pengamatan secara efektif
2.      Strategi meng-encode materi yang dihadapi untuk penyimpanan jangka panjang (image forming, focusing, scanning dsb)
3.       Strategi mengingat kembali (retrival), (mnemonic system, visual images, rhyming)
4.       Strategi pemecahan masalah Pemerolehan Strategi Kognitif

Pemerolehan kerapkali segera diperoleh dan penggunaannya makin dapat diandalkan melalui latihan dan praktek.
Kondisi belajar untuk strategi kognitif, ditentukan oleh dua hal :
1. Kondisi dalam diri pelajar
Memahami konsep dengan mengatakan berkali-kali dalam hal menghafal
2. Kondisi dalam situasi belajar
Strategi yang berorientasi pada tugas dan ditemukan sendiri oleh pembelajar Cognitive Development Model. Model ini disampaikan oleh Jean Piaget (1896-1980). Menurut Piaget ada empat tahapan perkembangan kognisi manusia, sebagai berikut :
1.      Tingkat Sensorimotor (0-2 thn)
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memilki pengetahuan object permanence yaitu walaupun object pada suatu saat tidak terlihat didepan matanya, tidak berarti objek tersebut tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan bahwa benda yang tidak mereka lihat berarti tidak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang disekelilingnya.
2.      Tahap Preoporational (2-7 thn)
Anak-anak pada tahap ini sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 thn, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, dimana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain.
Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walaupun bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata saja.
3.      Tahap Concrete (7-11 thn)
Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan dengan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).
4. Tahap Formal Operations (11 thn ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.
Walaupun pada mulanya, piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun, hampir semua remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation ini. Namun kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMU bahkan sebagian orang dewasa sekali pun tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini.
E.     Toeri belajar kognitifisme dalam PAI
Ketika seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa yang ada di dalam rumah dan sekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari sebuah gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah dalam hidupnya didunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan menerima segala bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang anak akan dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya. Dalam hal ini Imam Ghazali mengatakan:
Bayi itu merupakan amanat bagi kedua orang tuanya, hatinya suci dan bersih. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan, ia akan tumbuh dengan kebiasaan, pengajaran, dan berbahagia di dunia dan di akhirat.(Ulwan, 1992: 160). Dengan demikaian orang tua harus berusaha semaksimal mungkin agar anak mendapatkan pendidikan agama yang baik dan terbiasa melaksanakannya. Berbicara tentang terbiasa melaksanakan berarti menyangkut metode keteladanan, metode keteladanan dalam pembiasaan merupakan suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada anak agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, aklak, kesenian dan lain-lain.(Ali, 1999: 185).
F.    Kesimpulan
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
Dalam perkembangan setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme ini yaitu: Teori perkembangan piaget, teori kognitif Brunner dan Teori bermakna Ausubel. 
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin & Wahyuni, Esa Nur, 2007, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
Djaali, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara

Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Syah, Muhibbin, 1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV Bandung: Remaja Rosdakarya
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya
Sanjaya, Wina, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana
Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;  Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
-----------, 2007b, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
 “Mengenal Beberapa Tokoh Psikologi” dalam http://www.e-psikologi.com/lainlain /tokoh.htm#duabelas