TEORI BELAJAR KOGNITIVISME DALAM PAI
A.
Pendahuluan
Salah satu
aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di
sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan
kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar.
Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai
kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif
memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat
mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan
mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu,
menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk
mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak
pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental
seperti motivasi,
kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Wahyuni, 2007:
88).
Meskipun
pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik,
tidak berarti psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya,
menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap
sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang
berdimensi ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil
keputusan. Selain itu, aliran behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah
rasa.
Menurut perspektif psikologi
kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa
behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral
tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah,
seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu
menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk
mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan
kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata
respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting
karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa
kepada sebuah pemahaman bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan, yakni belajar. Bahkan,
perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif
memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses
pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan
kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu
pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual,
sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah
menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana teori belajar
Kognitifisme?
2.
Bagaimana aliran pembelajaran teori
belajar kognitifisme?
3.
bagaimana penerapan teori belajar
Kognitifisme dalam PAI ?
C.
Teori-teori belajar Kognitifisme
Beberapa teori belajar berdasarkan
aliran kognitif ini antara lain teori gestalt, teori medan, teori perkembangan
Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori penemuan Bruner dan teori
kognitif Bandura.
1)
Teori
Gestalt
Psikologi
kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya
seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt
ini belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang
menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia
bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh
gestalt lebih menekankan pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah
sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang
mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk individu yang
utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia bereaksi dengan
lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur
subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin
& Wahyuni, 2007: 88).
Menurut
teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan,
pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan
antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori
behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat
mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori
gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan
tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum yang terkenal
dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz
ini lebih kurang berarti teratur, seimbang, dan harmonis. Belajar adalah
mencari dan mendapatkan pragnanz, menemukan keteraturan, keharmonisan
dari sesuatu. Untuk menemukan pragnanz diperlukan adanya pemahaman (insight).
Menurut
Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu:
(1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh
pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan
situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan
pemahaman dapat diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi
pemahaman situasi lain (Sukmadinata, 2007: 171).
2)
Teori Medan
(field theory)
Teori medan
(field theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun kognitif.
Teori medan ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang
menekankan keseluruhan dan keterpaduan. Menurut teori medan, individu selalu
berada dalam suatu medan atau ruang hidup (life space), yang digambarkan
oleh Kurt Lewin sebagai berikut:
Dalam medan
hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya
selalu saja ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau
sejumlah dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan
tersebut. Apabila individu tersebut telah berhasil mencapai tujuan, maka masuk
ke dalam medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan
baru dengan hambatan-hambatan baru pula. Demikian seterusnya individu keluar
dari suatu medan dan masuk ke dalam medan psikologis berikutnya (Sukmadinata,
2007: 171).
Kaitannya
dengan proses belajar, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa teori medan
menganggap belajar sebagai proses pemecahan masalah. Menurut Lewin (Sanjaya,
2006: 120), beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah dalam
belajar adalah:
a)
Belajar
adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah
jika ia bisa mengubah struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan
contoh adalah sebagai berikut:
Orang yang
melihat sembilan buah titik tersebut sebagai sebuah bujur sangkar akan sangat
sulit memecahkan persoalan tersebut. Agar sembilan buah titik dapat dilewati
dengan 4 buah tarikan garis, maka harus mengubah struktur kognitif bahwa
kesembilan buah titik itu bukan sebuah bujur sangkar.
b)
Pentingnya
motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk
berperilaku. Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar
(ektern).
3)
Teori
Perkembangan Piaget
Kaitannya dengan perkembangan
kognitif, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dan
psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang
anak dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal. Teori ini
tidak hanya diterima secara luas dalam bidang psikologi tetapi juga sangat
besar pengaruhnya di bidang pendidikan (http://www.e-psikologi.com). Keempat
tahapan itu adalah:
a)
Tahap
sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak mengalami dunianya
melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek. Seorang anak
sedikit demi sedikit mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan
bena-benda lain.
b)
Tahap
pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai memiliki kecakapan
motorik. Pada masa ini anak menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu
obyek. Misalnya seorang anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi yang
sat berada dalam gelas panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan
mengatakan bahwa air di gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.
c)
Tahap
operasional konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak mulai berpikir secara
logis tentang kejadian-kejadian konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang
sama dalam kondisi yang berbeda.
d)
Tahap
operasional formal setelah usia 11 tahun. Pada masa ini anak mulai
memasuki dunia “kemungkinan” dari dunia yang sebenarnya atau anak mengalami
perkembangan penalaran abstrak (http://id.wikipedia.org).
Kecepatan perkembangan setiap
individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda dan tidak ada individu
yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai dengan
munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang memahami
dunia dengan cara yang semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22). Hal ini berarti
bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik. Artinya, perkembangan
kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dari
perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin
kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya
(Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan hal tersebut, Jean
Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah
memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan
yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang
bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses
pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan
tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006:
122).
Kaitannya dengan proses belajar,
Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi,
dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi
baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik. Akomodasi
adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru. Sedangkan
equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi.
Apabila seseorang menerima informasi
atau pengalaman baru, informasi tersebut akan dimodifikasi sesuai dengan
struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi.
Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan dengan informasi
yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin, 2002: 199).
Uraian tersebut di atas memberi sebuah
pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget tentang proses belajar seseorang
adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan
umurnya (Muhaimin, 2002: 200).
4)
Teori
Belajar Bermakna Ausubel
Menurut David P. Ausubel, secara
umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar asosiasi atau
menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar
seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari
diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam
struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).
Ausubel memisahkan antara belajar
bermakna dengan belajar menghafal. Ketika seorang peserta didik melakukan
belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan menguasai bahan
yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini berbeda dengan
belajar bermakna, dimana dalam belajar bermakna ini terdapat dua komponen
penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada pada
individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan
pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka
bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah yang mempunyai makna,
konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau lebih yang
mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan
struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan. Substansial
berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada
pada struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan
sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007: 188)
Selaras dengan uraian tersebut,
menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan persyaratan tertentu, yaitu (1)
isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna dan diatur sesuai
dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa lalu
yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna.
Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta didik
tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh
apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara
melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201).
Lebih lanjut, karakteristik dari
teori belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan belajar (advance
organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam
bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang
ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila dirancang
dengan baik, advance organizers akan mempermudah peserta didik
mempelajari isi pembelajaran karena kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan
dengan apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak atau ringkasan mengenai apa
yang dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara
hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan (Muhaimin, 2002:
202).
Singkatnya, inti dari teori David P.
Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).
5)
Teori
Penemuan Bruner
Salah satu
teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome Bruner yang
dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap
bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh
manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri
untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya,
menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26)
Menurut
Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka memusatkan
perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh
struktur informasi, peserta didik harus aktif di mana mereka harus
mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima
penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah yang
mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan penemuan (Trianto, 2007b: 33).
Selain ide
tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga
berbicara tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang.
Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif,
dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua,
tahap ekonit, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Ketiga, tahap simbolik, dimana individu
mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika
berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan sistem simbol
(Muhaimin, 2002: 200).
Lebih
lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu menunggu
sampai seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan
pembelajaran yang diberikan diatur dengan baik, seseorang dapat belajar
meskipun umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun asalkan materi
pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan
sesuai dengan karakteristik perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menata strategi
pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari dan tingkat
perkembangannya (Muhaimin, 2002: 201).
6)
Teori
Kognitif Bandura
Albert
Bandura mengatakan bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan perilaku.
Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh
pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip belajar menurut
Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda
dengan situasi di laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak
memerlukan pengamatan tentang pola perilaku beserta konsekuensinya pada situasi
alami (Djaali, 2007: 93).
Menurut
Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan
mengingat tingkah laku orang lain. Seorang belajar dengan mengamati tingkah
laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara
menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ulang
kembali. Melalui jalan pengulangan ini akan memberi kesempatan kepada orang
tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya (Trianto, 2007b:
31).
Bandura juga
menyatakan bahwa perilaku seseorang dan lingkungan itu dapat dimodifikasi. Buku
tidak berpengaruh pada seseorang, kecuali ada orang yang menulisnya dan orang
yang memilih untuk membaca. Oleh karena itu, hadiah atau hukuman tidak akan
banyak bermakna, kecuali diikuti oleh lahirnya perilaku yang diharapkan.
Diperolehnya perilaku yang kompleks bukan hanya disebabkan oleh hubungan dua
arah antara pribadi dan lingkungan, melainkan hubungan tiga arah antara
perilaku – lingkungan – peristiwa batiniah (reciprocal determinism/ determinasi
timbal balik). Contoh: seorang yang telah berlatih, akan timbul perasaan
percaya diri. Perilakunya menimbulkan reaksi baru, yang pada akhirnya reaksi
ini mempengaruhi kepercayaan dirinya yang kemudian menimbulkan perilaku
berikutnya dan dapat melukiskan perilaku yang baru itu, meskipun dia tidak
melakukannya (Djaali, 2007: 94).
D.
Strategi Kognitif
Strategi kognitif merupakan keterampilan yang terorganisasi dari dalam yang
fungsinya untuk mengatur dan memonitor penggunaan konsep dan aturan atau
kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam proses
belajar, proses berpikir, memecahkan masalah dan mengambil keputusan (Gagne,
1974).
Stretegi kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif
(Gagne’s Taxonomy) setelah analisis, sintesis dan evaluasi (Bloom Taxonomy).
Adapun jenis Strategi Kognitif, antara lain:
1. Strategi memperhatikan dan melakukan pengamatan secara efektif
2. Strategi meng-encode materi yang dihadapi untuk penyimpanan jangka panjang
(image forming, focusing, scanning dsb)
3. Strategi mengingat kembali
(retrival), (mnemonic system, visual images, rhyming)
4. Strategi pemecahan masalah Pemerolehan
Strategi Kognitif
Pemerolehan kerapkali segera diperoleh dan penggunaannya makin dapat diandalkan melalui latihan dan praktek.
Kondisi belajar untuk strategi kognitif, ditentukan oleh dua hal :
1. Kondisi dalam diri pelajar
1. Kondisi dalam diri pelajar
Memahami konsep dengan mengatakan berkali-kali dalam hal menghafal
2. Kondisi dalam situasi belajar
2. Kondisi dalam situasi belajar
Strategi yang berorientasi pada tugas dan ditemukan sendiri oleh pembelajar Cognitive Development Model. Model ini disampaikan oleh
Jean Piaget (1896-1980). Menurut Piaget ada empat tahapan perkembangan kognisi
manusia, sebagai berikut :
1. Tingkat Sensorimotor (0-2 thn)
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca
indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada
stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memilki pengetahuan
object permanence yaitu walaupun object pada suatu saat tidak terlihat didepan
matanya, tidak berarti objek tersebut tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada
umumnya beranggapan bahwa benda yang tidak mereka lihat berarti tidak ada. Pada
tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar
gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang disekelilingnya.
2. Tahap Preoporational (2-7 thn)
Anak-anak pada tahap ini sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun
kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa
2-7 thn, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, dimana mereka
berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain,
sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain.
Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap
preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama
memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walaupun bentuknya berubah-ubah.
Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar
jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya
kata-kata saja.
3. Tahap Concrete (7-11 thn)
Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami
konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah
bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah
mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak
se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam
bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya
mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam melibatkan siswa dalam pengalaman
langsung sangat efektif dibandingkan dengan penjelasan guru dalam bentuk verbal
(kata-kata).
4. Tahap Formal
Operations (11 thn ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak.
Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi
serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan,
siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua
kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi
berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.
Walaupun pada mulanya, piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun,
hampir semua remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation ini.
Namun kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMU bahkan sebagian orang dewasa
sekali pun tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini.
E.
Toeri
belajar kognitifisme dalam PAI
Ketika
seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa yang ada di dalam
rumah dan sekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari sebuah
gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah dalam hidupnya
didunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan menerima segala bentuk apa
saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang anak akan dibentuk oleh setiap
pengaruh yang datang dalam dirinya. Dalam hal ini Imam Ghazali mengatakan:
Bayi itu
merupakan amanat bagi kedua orang tuanya, hatinya suci dan bersih. Jika
dibiasakan dan diajarkan kebaikan, ia akan tumbuh dengan kebiasaan, pengajaran,
dan berbahagia di dunia dan di akhirat.(Ulwan, 1992: 160). Dengan demikaian
orang tua harus berusaha semaksimal mungkin agar anak mendapatkan pendidikan
agama yang baik dan terbiasa melaksanakannya. Berbicara tentang terbiasa
melaksanakan berarti menyangkut metode keteladanan, metode keteladanan dalam
pembiasaan merupakan suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan tujuan
pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada anak agar mereka
dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan
benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan
ibadah, aklak, kesenian dan lain-lain.(Ali, 1999: 185).
F.
Kesimpulan
Menurut teori ini,
belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan
pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk
struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila
materi pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki oleh siswa.
Dalam perkembangan setidaknya ada tiga
teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme ini yaitu: Teori
perkembangan piaget, teori kognitif Brunner dan Teori bermakna Ausubel.
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin
& Wahyuni, Esa Nur, 2007, Teori Belajar dan Pembelajaran,
Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
Djaali, 2007, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara
Muhaimin, et.al.,
2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Syah,
Muhibbin, 1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV
Bandung: Remaja Rosdakarya
Sukmadinata,
Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung:
Remaja Rosdakarya
Sanjaya,
Wina, 2006, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Kencana
Trianto,
2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;
Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher
-----------,
2007b, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher
“Jean
Piaget” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget